Era digital yang semakin maju dan berkembang telah memunculkan fenomena yang sangat mengkhawatirkan, yaitu post-truth.
Dalam konteks ini, fakta objektif menjadi kurang berpengaruh dalam membentuk pandangan masyarakat, karena emosi, keyakinan pribadi, dan narasi yang menguntungkan sering kali memiliki peran yang lebih besar dalam mempengaruhi persepsi daripada fakta yang dapat diverifikasi.
Post truth bukan lagi istilah baru. Terlebih saat ini post truth menjadi fenomena umum yang cukup membudaya di negeri ini.
Istilah post truth merujuk pada sebuah pembentukan opini publik yang mana ketertarikan emosional dan kepercayaan pribadi menduduki porsi lebih tinggi dibandingkan dengan fakta dan data.
Post truth merupakan upaya melampaui kebenaran sehingga kebenaran itu menjadi sebuah pembenaran atau hoaks.
Media sosial dan kemajuan teknologi memainkan peran sentral dalam penyebaran post-truth di era digital. Media sosial memberikan platform yang luas bagi penyebaran informasi, termasuk berita palsu atau hoaks.
Sayangnya, dalam beberapa kasus, berita palsu dapat menyebar lebih cepat daripada fakta yang sebenarnya. Hal ini disebabkan oleh kemudahan berbagi informasi tanpa verifikasi yang memadai di media sosial.
Berita palsu di era digital memiliki dampak yang berbahaya. Masyarakat sering kali menghadapi kesulitan dalam membedakan antara informasi yang benar dan yang palsu.
Bahaya ini semakin meningkat karena sulitnya membedakan video asli dan palsu. Teknologi telah memungkinkan pembuatan video palsu yang sangat meyakinkan. Karena itu, keterampilan literasi digital menjadi sangat penting dalam mengatasi efek negatif dari berita palsu.
Akan menjadi hal yang sangat membahayakan ketika post truth ini semakin berkembang di kalangan kita.
Satu hal yang bisa menjadi kunci satu-satunya dalam memutus rantai perkembangan post truth adalah dengan memperbaiki literasi informasi.
Literasi informasi sebagai kemampuan seseorang untuk mengenali kapan informasi tersebut dibutuhkan, serta kemampuan untuk menemukan, mengevaluasi, efektif menggunakan dan mengkomunikasikan informasi dalam berbagai format.
Kemampuan itu bisa meningkat, menurun, atau bahkan stagnan, tergantung dari individunya sendiri dalam mencerna, menafsir, dan menggunakan informasi tersebut.
Penguatan pada aspek-aspek seperti pelatihan literasi digital bagi para pemimpin dalam dunia pendidikan juga perlu dilakukan. Dengan demikian, mereka dapat menjadi agen perubahan yang mampu membantu masyarakat dalam menghadapi tantangan post-truth di era digital.
Perkembangan post-truth di era digital memiliki dampak terhadap cara masyarakat memperoleh dan memahami informasi. Oleh karena itu, sangat penting bagi individu untuk meningkatkan keterampilan literasi digital guna melawan efek negatif dari berita palsu.
Pengaruh fenomena post-truth terhadap politik Indonesia sangat signifikan dan berdampak pada opini publik serta ketahanan nasional. Berbagai hal perlu dipahami dalam konteks ini.
Dalam politik Indonesia, post-truth memiliki pengaruh yang serius. Hoaks politik yang tersebar di era post-truth dapat mengganggu stabilitas politik dan ketahanan nasional.
Penyebaran hoaks politik juga berpotensi memicu konflik sosial dan merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi politik. Bahkan, hoaks politik dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk mempengaruhi opini publik dan memenangkan dukungan politik.
Dampak post-truth terhadap opini publik di Indonesia juga banyak dampaknya. Penyebaran hoaks politik mampu mempengaruhi opini publik dan memicu polarisasi di masyarakat. (Sofwan Faizal Sifyan- Direktur Lembaga Kajian Lintas Kultural)