Relevankah Pilihan Darurat Sipil Jokowi ?

(SuaraJateng ID) — Munculnya coronavirus diseases 2019 atau Covid-19 terus memperlihatkan tingkat penyebaran yang semakin meluas. Ratusan negara terdampak dan Organisasi Kesehatan Internasional atau WHO telah menetapkan virus corona sebagai pandemi.

Untuk kesekian kalinya dalam sejarah, umat manusia kembali berhadapan dengan bencana wabah penyakit. Kondisi dan situasi yang memberikan dampak terhadap berbagai aspek dan tak jarang mempengaruhi perubahan-perubahan dalam struktur politik, ekonomi, sosial, dan budaya.

Di Indonesia, kasus infeksi virus corona terus mengalami kenaikan. Angka positif sudah mencapai 1.677 per tanggal 1 April 2020. Angka yang cukup memberikan pengaruh psikologis tertentu bagi masyarakat. Jika dilihat dari angka-angka sebelumnya, per hari kenaikan angka positif di Indonesia kurang lebih 100 orang. Beberapa ahli dan pengamat memperkirakan ini belum akan berakhir, bahkan akan menunjukkan titik tertinggi terjadi pada dua bulan mendatang.

Mengutip tulisan Ali Rif’an dalam Harian Solopos tanggal 24 Maret 2020, Tim Peneliti Institut Teknologi Bandung (ITB) memperkirakan persebaran virus baru corona akan terus bergerak melewati Bulan April 2020 dengan jumlah maksimum 8.000 kasus.

Data kenaikan persebaran virus corona juga diduga merupakan akumulasi dari ketidakseriusan pemerintah dalam melakukan antisipasi. Di saat China dan beberapa negara lain sudah terjangkit, Pemerintah Indonesia dirasa menganggap pandemi ini sebagai hal biasa yang tidak perlu dikhawatirkan.

Foto: DreamsTIME

Kegagapan Menghadapi Situasi

Lambatnya penanganan yang dilakukan pemerintah mengakibatkan kondisi yang tidak menentu dikalangan masyarakat. Ditambah dengan banyaknya komunikasi publik yang tidak menjawab persoalan, sebaliknya malah mencederai dan menambah ketidakpastian. Akibatnya narasi dan kebijakan yang dilakukan tidak substansial dan gelombang protes pun sempat terjadi.

Salah satunya terjadi ketika wacana penerapan darurat sipil muncul. Dalam segi pengambilan kebijakan publik, munculnya wacana darurat sipil merupakan buntut dari kegagapan pemerintah menghadapi kenaikan angka virus corona. Terlebih, wacana penerapan darurat sipil ini menandakan tidak adanya political will dari pemerintah untuk mengurus masyarakat yang sedang menghadapi persebaran virus.

Tindakan ini memperkuat indikasi pemerintah tidak berani mengambil tanggung jawab memenuhi kebutuhan dasar di masa pandemi seperti dalam UU Kekarantinaan Kesehatan. Alih-alih menghindari penerapan karantina wilayah, hal-hal yang tidak substansial akhirnya muncul. Jika membaca gejala ini, maka dapat mengindikasikan begitu rapuhnya keadaan fundamental negara kita dalam menghadapi situasi bencana atau wabah.

Padahal, beberapa ahli sudah mendesak pemerintah untuk melaksanakan Karantina Wilayah seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Salah satunya adalah rekomendasi Dewan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Namun pemerinrtah tak kunjung memberikan kepastian apa yang akan diputuskan dan apa yang harus dilakukan. Hingga diterbitkan sejumlah aturan melalui PP dan Perppu, Pemerintah hanya memberikan imbauan.

Persoalan ekonomi menjadi pertimbangan utama dalam melaksanakan UU Nomor 6 Tahun 2018. Menurut Ariyo Dharma Pahla Irhamma, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) dalam suatu diskusi online menyebut hal ini seharusnya tidak menjadi alasan bagi pemerintah, karena ekonomi bukan menjadi titik fokus dalam penanganan virus, melainkan memutus rantai persebaran dahulu. Solusi ekonomi tidak bisa dipakai dalam situasi seperti ini.

Enni Sri Hartati yang juga merupakan peneliti INDEF menambahkan dalam tulisannya “Efektivitas Karantina” di Harian Kompas tanggal 31 Maret 2020, banyak yang mengambil langkah karantina wilayah karena kepastian pengendalian penyebaran virus optimal dilakukan dengan ekspektasi waktu pemulihan lebih terukur. Memutus rantai persebaran lebih utama agar tidak semakin meluas. Jika semakin meluas, semakin lama penanganan dan semakin lama pula pemulihan.

Relevankah Darurat Sipil?

Jika ditarik secara historis, penetapan darurat sipil terjadi dalam keadaan bahaya dan diatur dalam Perppu Nomor 23 Tahun 1959. Perppu ini juga dalam rangka mengganti Undang-Undang Keadaan Bahaya Nomor 74 Tahun 1957.

Mengutip Buku “Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1965”, darurat sipil dilalui dengan penetapan keadaan bahaya atau dalam bahasa Belanda juga disebut SOB (Staat van Oorlog en Beleg). Undang-Undang keadaan bahaya ini dipakai untuk merespon ancaman terjadinya pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam.

Keadaan bahaya pertama kali muncul dalam momentum perang kemerdekaan dan dinamika politik yang memperlihatkan adanya pemberontakan. Maka diperlukan tindakan luar biasa sesuai dengan garis koordinasi yang diatur dalam Perppu tentang Keadaan Bahaya.

Dilansir dari situs Historia.id, status keadaan bahaya atau SOB ini terjadi ketika A.H. Nasution meminta kepada Presiden Soekarno untuk menetapkan keadaan bahaya dalam rangka penuntasan Permesta dan PRRI. Maka di dalamnya pun diatur darurat sipil.

Saat itu, kondisi sosial dan politik tidak stabil, termasuk keadaan militer. Gejolak sosial muncul mengikuti dinamika politik para elit pada waktu itu. Terjadi polarisasi oleh banyaknya partai politik, perubahan peraturan, struktur pemerintahan, hingga munculnya desakan daerah terhadap kebijakan pemerintah pusat.

Penerapan darurat sipil lainnya pernah diterapkan di masa Gusdur dan Megawati. Keputusan darurat sipil diambil guna merespon konflik horizontal dan dinamika sosial. Gusdur menerapkan darurat sipil di Provinsi Maluku dan Maluku Utara melalui Keppres Nomor 8 Tahun 2000. Konflik horizontal yang melibatkan agama mengakibatkan tidak stabilnya kondisi politik, sosial, dan ekonomi.

Kemudian Megawati menerapkan darurat sipil di Aceh melalui Keppres Nomor 43 Tahun 2004, yang sebelumnya didahului dengan penerapan status darurat militer melalui Keppres Nomor 28 Tahun 2003. Kemudian sempat diperpanjang penerapan darurat sipil oleh SBY yang menggantikan Megawati.

Sejak penerapan darurat sipil, terjadi banyak pembatasan ruang gerak masyarakat yang mempengaruhi kondisi sosial. Terutama yang banyak terjadi adalah pembatasan terhadap media dan pemberitaan. Kontrol terhadap berita, percakapan, dan komunikasi juga dilakukan. Akibat yang dikhawatirkan banyaknya terjadi represifitas terhadap aktivitas wartawan dan jurnalis.

Secara historis, wacana darurat sipil dalam menanggapi virus corona ini tidak cukup relevan untuk diterapkan. Kondisi sosial masyarakat justru memperlihatkan solidaritas bersama. Tak perlu menunggu permintaan dari pemerintah, inisiatif dan kedermawanan antar warga muncul lebih cepat daripada penanganan yang dilakukan pemerintah. Dalam situasi menghadapi wabah penyakit, yang ditunggu justru tanggung jawab pemerintah yang merujuk pada peraturan penanggulangan bencana dan kekarantiaan kesehatan.

Penulis: Muh. Faizurrahman*

*Penulis merupakan Aktifis Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Muhammad Iqbal, Solo

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.